Senin, 25 Juni 2007

Investasi tak Aman Masih Saja Diminati

http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2007/052007/14/selisik/index.html

MESKI dianggap sudah tidak modern, mungkin ada benarnya juga nasihat sederhana dari orang tua kita zaman dahulu. Katanya, kalau mau menyimpan dan mengembangkan harta (berinvestasi), orang Sunda bilang simpanlah dalam bentuk benda atau barang-barang ”teuas” (keras-red.), seperti tanah (lahan) dan emas (perhiasan).
BERBAGAI perusahaan menawarkan investasi kepada masyarakat. Namun, nafsu mengejar keuntungan besar tanpa disertai pengetahuan dan pemahaman yang baik dalam berinvestasi membuat sekelompok orang atau perusahaan mengeruk keuntungan dari masyarakat.*HARRY SURJANA/"PR"

Terbukti, dua jenis harta simpanan tersebut diakui sejak dahulu hingga sekarang, trennya secara umum tidak pernah berkurang nilainya atau turun harganya. Sebaliknya, dari tahun ke tahun selalu saja meningkat. Kendati begitu, tentu saja investasi dalam bentuk lahan maupun perhiasan ini pun masih menyimpan risiko. Contoh, lahan dipersengketakan atau perhiasannya palsu.

Namun, seiring perkembangannya, berinvestasi dewasa ini tidak saja terpaku dalam lahan dan perhiasan, tapi juga terus berkembang dalam bentuk investasi lain, baik itu pada lembaga keuangan perbankan maupun nonperbankan seperti instrumen deposito, obligasi, reksadana, saham, bursa komoditas berjangka, dan sebagainya.

Terlepas dari berbagai bentuk investasi itu, sebenarnya ada esensi penting yang perlu dicermati yakni apa yang menjadi motivasi masyarakat dalam berinvestasi selama ini. Jawabannya, tiada lain untuk mengembangkan dan menambah dana atau harta yang dimiliki. Tetapi sangat disayangkan, cara untuk mewujudkan motivasi itu banyak yang menjadi tidak rasional dan spekulatif, yaitu lewat “jalan pintas” demi mendapatkan keuntungan besar dan mudah, meski diketahui risikonya tinggi.

Nafsu mengejar keuntungan besar, tapi tidak disertai pengetahuan dan pemahaman yang baik dalam berinvestasi inilah yang semakin memberi ”angin segar” terutama bagi sekelompok orang atau perusahaan untuk mengeruk keuntungan dari masyarakat. Dengan dalih kegiatan penggandaan uang atau investasi yang memberikan hasil yang lebih tinggi dibandingkan dengan bentuk-bentuk investasi lainnya.

Alhasil, dari kegiatan yang berkedok investasi/penggandaan uang atau ”bank gelap” akhir-akhir ini, sudah memakan banyak korban yang terkena penipuan. Contoh terbaru, kasus Inter Banking Bisnis Terencana (Ibist), PT Wahana Bersama Globalindo (WBG), dan PT Sarana Perdana Indoglobal (SPI), atau dahulu ada investasi di bidang agroindustri semacam PT QSAR di Sukabumi, dan PT Adfarm. Sejumlah pelaku sudah ditangkap pihak berwenang, meski sempat buron. Tak sedikit pula pelaku yang masih bebas berkeliaran.

Berkaca dari kasus-kasus penipuan tersebut, sudah seharusnya masyarakat atau calon investor bisa mengenal lebih baik berbagai jenis investasi yang ada selama ini seperti deposito, obligasi, reksadana dan saham, sehingga, bisa mengetahui manfaat dan risiko atas dana yang diinvestasikannya.

**

Deposito misalnya, meski sejak 23 Maret 2007, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) hanya akan menjamin dana maksimal nasabah di bank menjadi Rp 100 juta, namun investasi pada produk deposito masih dikategorikan aman. Begitupun rate LPS menjadi acuan pula bagi perbankan dalam menetapkan rate bunga produk simpanannya.

Beberapa alternatif investasi lain yang tergolong aman sebenarnya sudah banyak ditawarkan selama ini, di antaranya, melalui Obligasi Negara Ritel (ORI) yang tidak mempunyai risiko gagal bayar, karena dijamin Undang-undang (UU) Surat Utang Negara (SUN) dan UU APBN.

ORI ini dijual melalui sejumlah bank dan perusahaan sekuritas yang ditunjuk pemerintah. Tingkat bunga yang ditawarkan cukup menarik, karena rata-rata di atas bunga deposito, seperti ORI seri 001 (ditawarkan Agustus 2006) sebesar 12,05%/tahun dan ORI seri 002 (yang ditawarkan Maret 2007) sebesar 9,28%/tahun, dengan kelipatan dana yang disimpan Rp 5 juta dan tenor (masa jatuh tempo) 5 tahun.

Kupon ORI dibayar setiap bulan, serta berpotensi memperoleh capital gain (keuntungan) jika dijual pada harga yang lebih tinggi daripada harga beli setelah memperhitungkan biaya transaksi di pasar sekunder (pasar modal).

Selain ORI, ada pula investasi melalui reksadana. Kendati selama tahun 2005 lalu sempat mengalami redemption (penarikan dana nasabah dalam jumlah besar), namun pengelola dana investasi reksadana ini jelas legalitasnya. Sejak 2006 hingga saat ini, industri reksadana sudah mulai menunjukkan pertumbuhan yang signifikan. Meski tidak ada jaminan dari pemerintah, reksadana ini menawarkan bunga yang menarik.

Menurut Yan Indrayana, seorang praktisi pada salah satu Bank BUMN kepada ”PR”, reksadana (mutual fund) merupakan wahana dalam menghimpun dana masyarakat (pemodal) untuk kemudian diinvestasikan ke dalam portofolio efek oleh manajer investasi (MI). Portofolio efek tersebut bisa berupa saham, obligasi, instrumen pasar uang, atau kombinasi dari beberapa di antaranya.

Reksadana kemudian muncul sebagai solusi agar pemodal tak lagi kesulitan dalam berinvestasi. Kesulitan berupa dana yang mepet, keterbatasan pengetahuan dan informasi, kurangnya waktu dan tenaga untuk memantau portofolio, dan risiko-risiko lain dapat diatasi dengan reksadana.

”Sebagai gambaran, penduduk Indonesia saat ini sekitar 230 juta jiwa, namun dana yang terkumpul dalam reksadana baru sekitar Rp 60 triliun saja (tahun 2006). Itu artinya, reksadana masih merupakan wahana yang bagus dan potensial untuk berinvestasi,” ungkapnya.

Selain itu, ada investasi dalam bentuk saham. Instrumen ini menjadi alternatif utama pula untuk dipertimbangkan sebagai pilihan investasi. Mengingat perkembangannya sangat pesat selama beberapa bulan terakhir ini. Pada bulan April 2007 misalnya, indeks harga saham gabungan (IHSG) berada pada kisaran di atas 2.000, yang merupakan angka psikologis tertinggi yang dicapai selama sejarah Bursa Efek Jakarta (BEJ).

”Beberapa instrumen investasi yang ada tersebut merupakan alternatif pilihan kepada masyarakat atau nasabah untuk mengembangkan dananya. Namun, masyarakat harus tetap berpegang kepada tingkat return yang wajar agar tidak terjebak oleh oknum (individu/perusahaan) yang akan melakukan aksi penipuan,” ujarnya. (Ivan W./ ”PR”)***

Tidak ada komentar: